Takdir Cinta dan Janji yang Ditegakkan: Kisah Perjodohan di Tengah Prinsip Hidup
Tuhan itu Maha Baik dan Maha Adil. Dalam rahmat dan ketetapan-Nya, Ia telah menetapkan hukum kehidupan, termasuk dalam perkara perjodohan. Ada sebuah prinsip Ilahi yang meyakinkan bahwa “yang baik akan dipasangkan dengan yang baik pula”. Keyakinan inilah yang menjadi landasan batinku menapaki usia muda, ketika aku melangkah ke Surabaya untuk menuntut ilmu.
Saat awal masuk kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya, jujur, ada satu hal yang paling aku takuti: pergaulan dengan perempuan. Di benakku waktu itu, perempuan adalah godaan yang bisa mengganggu fokus dan cita-cita. Aku ingin sukses terlebih dahulu, baru memikirkan cinta dan pernikahan. Saking kuatnya prinsip itu, aku menulis besar-besar di dinding kamar kosku:
“No Girl Before Sukses”
Tulisan itu kubaca setiap hari, sebagai pengingat, sebagai batas yang kutegakkan sendiri demi tujuan yang kuanggap lebih utama: sukses dalam hidup.
Di kampus, tentu saja aku berinteraksi dengan banyak teman kuliah perempuan. Tapi aku menanamkan prinsip dalam diriku: jika seseorang tampak cantik dan memesona, maka sikap terbaikku adalah menjauh. Bukan karena aku sombong, tapi karena aku khawatir pada diriku sendiri—takut hatiku goyah dan janji pada diriku sendiri runtuh.
Aku hanya merasa nyaman berteman dengan teman perempuan yang menurutku “aman”—dalam arti tidak memunculkan rasa suka atau ketertarikan. Namun, manusia hanya bisa berencana. Di antara rasa was-was dan keteguhan prinsip, akhirnya hatiku kalah juga.
Aku jatuh hati pada seorang teman perempuan sekelasku. Aku mencoba mendekatinya. Tapi Tuhan masih menjaga prinsipku. Perasaan itu tak berbalas. Ia tak tertarik padaku. Awalnya, aku sedih, tentu saja. Aku merasa diriku memang tak layak untuk dicinta. Tapi di sisi lain, aku juga merasa seperti “diselamatkan.” Aku kembali pada jalur yang sudah kutetapkan sejak awal: bekerja, kuliah, dan meraih sukses.
Namun lagi-lagi, takdir Tuhan bekerja dengan cara yang tak terduga.
Di tempat kerjaku—warkop kecil yang kujalankan sendiri di Pasar Sore Pandegiling—aku tak sadar sedang diperhatikan seorang gadis. Ia adalah pelanggan setiaku, sering membeli minuman di warungku. Diam-diam, ia tertarik padaku. Katanya, aku berbeda. Bahasaku selalu sopan, berbahasa Indonesia meski hanya jualan di gerobak. Aku pun tak menyangka, setiap kali aku mengaji sendirian di sela waktu sepi, ternyata ada mata yang memperhatikanku dengan rasa kagum.
Lama-lama ia mulai sering menyapaku. Mengajakku mengobrol. Awalnya kupikir biasa saja. Tapi seiring waktu, hatiku mulai membuka. Tanpa sadar, aku jatuh hati padanya. Dan ketika aku mengungkapkan perasaanku, tanpa kusangka, ia menerimanya.
Di titik inilah aku berhadapan dengan prinsipku sendiri. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta sebelum “sukses” yang kuimpikan tercapai? Kalimat di dinding kosku seperti menegur keras, “No Girl Before Sukses!”
Namun, hatiku menjawab dengan jernih:
“Bukankah membangun rumah tangga juga bagian dari perjuangan hidup? Bukankah dengan pasangan yang tepat, perjalanan menuju sukses bisa terasa lebih ringan dan lebih fokus?”
Prinsip lama pun tergeser oleh prinsip baru yang lebih matang: “Rumah tangga dan karir bukanlah dua hal yang saling menghambat, tetapi dua jalan yang bisa ditempuh bersamaan.”
Kami pun memutuskan menikah.
Setahun kemudian, anak pertama kami lahir di RSI Surabaya, tepat saat usiaku genap 24 tahun. Aku belum mapan saat itu. Tapi aku percaya, kemapanan sejati bukanlah sekadar materi, melainkan tekad untuk terus berjuang dan tidak menyerah.
Kini aku menjalani dua peran sekaligus: sebagai suami dan sebagai pejuang karir. Prinsip hidupku pun semakin jelas: “Jika mungkin, lakukan keduanya. Jangan menunggu semuanya sempurna. Lakukan yang bisa, usahakan yang belum, dan Tuhan akan menyempurnakan sisanya.”
Karena bagi mereka yang terus berjuang, yang tidak kenal lelah dan tidak mudah menyerah, Tuhan pasti menyiapkan hadiah terbaik-Nya di ujung jalan.
By: Andik Irawan